LARANGAN MASUK STASIUN UTARA RUGIKAN PENUMPANG KRD

Kebijakan PT. KAI melarang penumpang KRD melalui Stasiun Utara per 1 Desember 2012, berpotensi merusak harmoni antara penumpang dan PT. KAI. Kebijakan tersebut mengabaikan fakta sekitar 70% penumpang KRD memanfaatkan akses Stasiun Utara. Kaum perempuan lah yang paling menderita akibat kebijakan baru PT. KAI itu.

Belakangan ini penumpang setia Kereta Rel Diesel (KRD) Patas & KRD Ekonomi resah bukan kepalang.  Pengumuman pada kertas berukuran folio yang ditempel di loket penjualan tiket penyebabnya. Pesan pada kertas itu isinya kurang-lebih: Mulai 1 Desember 2012 PT. KAI hanya melayani penjualan tiket di Stasiun Selatan, dan loket di stasiun utara akan ditutup.

Membaca pengumuman itu, calon penumpang yang setiap hari menggunakan akses Stasiun Utara langsung geram. Mereka merasa seperti ditampar, disakiti dan dilecehkan luar biasa oleh PT. KAI. “Ini benar-benar diskriminatif dan pelecehan luar biasa,” kata seorang penumpang sambil meremas tiket bertarif Rp 10.000 yang baru saja dibelinya. Penumpang lain langsung berteriak, “KAI Rasis!”.

Penutupan layanan di Stasiun Utara itu oleh PT. KAI disebut pembenahan, namun oleh penumpang istilah “pembenahan” tersebut dipandang sebagai tindakan rasis, diskriminatif bahkan genosida alias “pembunuhan massal”. Di mata calon penumpang, “pembenahan” tersebut diartikan tindakan sistematis untuk menyingkirkan “rakyat kecil” dari seluruh aset PT. KAI.

Aturan diskriminatif ala KAI

Memang pengumuman itu tidak menyebut larangan penumpang KRD masuk/keluar melalui Stasiun Selatan, namun penumang segera maklum maksud pengumuman itu, yakni: Gerbang Utara tidak pantas untuk penumpang miskin (KRD) dan silakan berpeluh ria ke selatan. Soal nanti tambah ongkos untuk angkot, waktu terbuang, cape, lelah dan resiko lainnya bukan urusan PT. KAI!

Konsekuensi larangan lewat Stasiun Utara memang luar biasa: Calon penumpang dipaksa memutar ke Stasiun Selatan/Stasiun Hall. Konsekuensi penutupan akses Stasiun Utara dipastikan juga melarang calon penumpang melintas dari gerbang Stasiun Utara ke gerbang Stasiun Selatan, meski cuma untuk membeli tiket! Alhasil, ratusan bahkan mungkin ribuan calon penumpang akan dipaksa memutar otak bagaimana mencapai Stasiun Selatan secara cepat, mudah dan tanpa pengeluaran tambahan.

Bukan hanya larangan masuk, larangan keluar melalui pintu utara tampaknya bagian dari aturan baru itu. Ini apabila kita melihat dalih PT. KAI menutup gerbang utara, salah-satunya masalah kemacetan di Jl. Kebon Kawung. Alasan yang sebenarnya mengada-ada sebab tidak ada bukti penumpang KRD penyebab kemacetan di jalan tersebut.

Memutar ke selatan tidak sederhana. Calon penumpang harus tambah ongkos, apabila mau naik angkot. Padahal mereka selama ini terbiasa turun dari angkot di Jl. Kebon Kawung pas depan Stasiun Utara. Naik angkot artinya tambah ongkos Rp 2.000. Tambahan pengeluaran itu beban luar biasa yang harus ditanggung, terutama oleh para komuter. Pasalnya baru saja tarif KRD Patas naik 100%. “Sudah ongkos KRD naik 100% masa harus tambah ongkos angkot Rp 2000 lagi?” protes seorang ibu.

“Sepanjang sejarah naik KRD baru kali ini saya benar-benar merasa dilecehkan pengelola KRD,” tambahnya kesal. Ia mengaku sudah setia naik KRD Patas sejak 2001. Ia menceritakan, kantornya berada di Jalan Taman Sari. Setiap hari dari Cicalengka, ia naik KRD Patas. Setibanya di Stasiun Utara, biasanya ia menggunakan angkot jurusan Cisitu menuju kantor. Pulangnya dari kantor ia naik angkot lagi, turun di Stasiun Utara.

“Saya naik KRD karena praktis, meski harga tiketnya mahal,” ujarnya. Ia mempertanyakan kebijakan PT. KAI yang bukannya menambah kenyamanan malahan mempersulit calon penumpang. Ia  menyayangkan keluarnya kebijakan yang justru berpotensi merusak hubungan baik antara penumpang dengan PT. KAI.

Kesulitan Sang Ibu, dipastikan membebani ratusan atau mungkin ribuan penumpang setia KRD lainnya. Memutar ke selatan bukan perkara gampang. Pasalnya, lalu-lintas Jl. Kebon Kawung, Pasirkaliki dan Kebon Jati yang harus dilalui untuk menuju ke Stasiun Selatan terkenal macet. Waktu tempuhnya pun lumayan lama, sekitar 30 menit, jika lagi apes bisa 1 jam! Calon penumpang pun harus berjalan cukup jauh dari Jl. Kebon Jati menuju Stasiun Selatan karena angkot memang hanya sampai Jalan Kebon Jati depan Stasiun Hall.

Sebelum masuk ke Stasiun Selatan, calon penumpang harus ”diuji” melewati kawasan kumuh, becek bau pesing dan semrawut yang bernama Stasiun Hall. Selain tidak ada jaminan keamanan, mereka sangat berisiko ditabrak angkot/Elf, dicopet, dijambret bahkan dirampok, terutama selepas magrib. Konon juga Stasiun Hall menjadi tempat transaksi narkoba.

Resiko paling berat mengancam ibu/saudara/kakak/adik/teman kita, kaum perempuan. Mereka sangat beresiko mengalami pelecehan seksual.  Kawasan Stasiun Hall dan sekitarnya memang dikenal sebagai kawasan “lampu merah”. Kesulitan tidak sebatas itu, jika hujan, kawasan selatan kerap banjir selutut! Padahal sejak November ini kawasan Stasiun Hall/Stasiun Selatan diguyur hujan tiap hari.

Tentu, calon penumpang bisa berjalan kaki memutar melalui Otista, naik jembatan penyebrangan lalu menyusuri Jalan Stasiun Timur. Jaraknya lebih dekat, sekitar 500 meter. Persoalannya, selain jauh calon penumpang juga harus naik jembatan penyebrangan dengan tangganya yang curam. Tak masalah memang buat anak muda, tetapi tidak demikian dengan ibu-ibu yang membawa anak dan para lansia. Musim hujan seperti sekarang ini jangan ditanya repotnya jika harus melalui jembatan itu.

Diluar itu, jembatan penyebrangan dan Jalan Stasiun Timur juga rawan tindak kejahatan. Menurut pedagang yang biasa berjualan di dekat tangga penyebrangan, di atas jembatan kerap terjadi tindak kejahatan dari mulai pemerasan, penjambretan hingga perampokan. Mungkin itulah sebabnya jembatan penyebrangan yang berada di atas rel kereta itu selalu sepi. Tidak banyak orang yang berani menggunakan jembatan tersebut. “Kalo engga penting-penting amat mah jangan lewat jembatan deh,” ujar seorang pedagang memperingatkan.

Bagaimana suasana Jl. Stasiun Timur? Setali tiga uang. Sepi, apalagi selepas magrib. Jika malam tidak ada lampu penerangan. Angkot pun hanya diijinkan sebatas Jalan Suniarja, selebihnya harus jalan kaki. Disarankan, jangan sendirian jika melalui jalan ini dan tingkatkan kewaspadaan. Kaum perempuan disarankan tidak lewat jalan ini, terutama selepas magrib! Disarankan juga membawa teman pria.

Idealnya Akses Stasiun Utara

Akses masuk dari stasiun utara sebenarnya sangat ideal bagi para commuter. Tidak kurang 10 jurusan angkot melalui jalan ini. Ini memudahkan para pekerja, pelajar, mahasiswa dan wisatawan mencapai tujuannya masing-masing secara cepat, mudah dan murah. Taksi pun lebih banyak di arah utara. Taksi Blue Bird misalnya, hanya mangkal di Jalan Kebon Kawung. Fasilitas dan berbagai kemudahan juga banyak tersedia di utara, misalnya ada restoran cepat saji, mini mart dan toko oleh-oleh. Tampaknya memang PT. KAI mempersiapkan Stasiun Utara sebagai etalase

Mungkin karena lokasinya yang strategis itu, banyak mahasiswa dan pelajar yang tinggal di Rancaekek, Cicalengka  dan sekitarnya serta mereka yang tinggal di Cimahi, Padalarang dan sekitarnya menggunakan akses stasiun utara untuk mencapai kampusnya. Di daerah utara Bandung memang banyak perguruan tinggi dan sekolah-sekolah favorit, sebut saja SMAN 2, 6 & 9, UPI, Unpad, ITB, Unpas, Unpar, Unisba.

Karyawan yang kantornya berada di wilayah utara merupakan penumpang KRD terbanyak. Hal ini bisa dilihat setiap kedatangan KRD, ratusan pekerja –ditandai dengan busana yang rapi dan sebagian lagi modis– berduyun-duyun melalui gerbang keluar Stasiun Utara.

Akses utara juga menjadi favorit bagi mereka yang akan/pulang berbelanja di BEC, Istana Plasa, Bandung Trade Centre (BTC), Parisj  van Java, BIP, Ciwalk dan Balubur, Gramedia sebagainya. Mereka yang bertujuan rekreasi ke Kebun Binatang, Karang Setra, Taman Lalu Lintas, Lembang dan sebagainya menggunakan akses utara.

Uniknya, dari lokasi-lokasi tersebut (kampus, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi dan lain-lain) ada angkot yang langsung menuju Jalan Kebon Kawung/Stasiun Utara sehingga memudahkan para calon penumpang. Para perencana lalu-lintas dan angkutan publik di kota Bandung rupanya sudah mendesain sedemikian rupa agar siapa pun mudah dan cepat mencapai Stasiun Utara.

Harmoni yang retak

Jika nanti betul-betul akses Stasiun Utara ditutup lantas bagaimana? “Kita tutup aja Stasiun Rancaekek. Biar tidak ada kereta yang lewat sekalian!” ujar seorang calon penumpang yang tadinya terkantuk-kantuk menunggu kereta yang telat. Menurutnya ia akan menggalang aksi massa untuk menyegel stasiun Rancaekek. “Kalo buruh bisa memblokir jalan tol masa orang Rancaekek engga bisa blokir jalan kereta!” ujanya, tetapi tidak jelas apakah dia serius atau sekadar berkelakar.

Mungkin inilah yang dimaksud Ibu tadi, aturan menutup Stasiun Utara bagi penumpang KRD hanya berpotensi merusak harmoni antara penumpang –baca warga Rancaekek dan Cicalengka—dengan PT. KAI. Apabila penumpang KRD sudah tidak “dimanusiakan” apa pun bisa terjadi. Kita sih berharap hubungan baik PT. KAI dengan penumpang baik yang di timur (Rancaekek, Cicalengka) atau Barat Cimahi, Padalarang dan sekitarnya) tetap terpelihara seperti selama ini.

Stasiun Utara memang akses yang sangat vital bagi para komuter. Penutupan Stasiun Utara bagi penumpang KRD hanya mempersulit dan tidak membawa manfaat apa pun bagi calon penumpang.